Image and video hosting by TinyPic

Mengapa Harus Outsourscing?

    Persoalan masalah PNS menjadi sedikit perbincangan yang hangat dalam berbagai pemberitaan. Fakta ini terkuak setelah muncul wacana untuk menjadikan PNS menjadi tenaga outsourcing. Walau masih sebatas wacana namun hal ini sebenarnya sedikit tertarik untuk diperbincangkan. 
    
    Berawal dari kementerian keuangan menyoroti jumlah PNS yang mengalami kegemukan kurang efisiennya dan efiktif yang cendrung menambah dan membebani pengeluaran Negara menjadi latar belakang lahirnya wacana untuk menggunakan tenaga outsourcing terhadap beberapa kegiatan yang tidak membutuhkan keahlian khusus di lingkungan PNS, seperti yang dilakukan oleh pihak swasta.
 
     Setelah wacana ini dilemparkan, wakil ketua I bidang Hukum dan Pemerintahan DPRD Kalimantan Selatan H. Mansyah Sabri merespon positif penempatan PNS sebagai tenaga kerja outsourcing. Tentu respon positif ini punya alasan tersendiri, seperti jika memang orientasi pemerintah untuk melakukan penghematan pengeluaran Negara dan daerah. Akan tetapi sebenarnya perlu sekali kajian mendalam sebelum memberlakukan kebijakan ini nantinya.
 
    Berbicara dan mendengar kata outsourcing, tentu punya sisi pengertian yang negatif. Bagaimana tidak jika ditanya bagaimana keuntungan penerapan outsourcing dalam kerja, pasti buruh yang terdepan menghadang dan dengan lantam menyatakan: menolak! Tentu kita pasti bertanya, mengapa menolak? Karena outsourcing adalah sarana yang digunakan pihak penguasa untuk mengekangi dan menghabisi hak-hak dari buruh yang notabenenya adalah budak. Pernyataan buruh ini dapat kita amati ketika setiap pekerja/buruh melakukan aksi unjuk rasa, terlebih ketika memperingati ‘may day’ pasti tuntutan adalah menolak dan meminta penghapusan sistem kerja outsourcing.
   
   Pada bulan lalu dalam sebuah tulisan Bisnis Outsourcing untuk siapakah?, penulis mempertanyakan sebenarnya untuk siapakah manfaat pemberlakuan outsourcing? Tentu outsourcing bermanfaat bukan untuk kaum buruh,/pekerja akan tetapi untuk mensejahterakan perusahaan outsourcing dan perusahaan penyedia kerja. Sebenarnya inilah fakta yang sebenarnya yang tentunya menjadi latarbelakang munculnya gelombang penolakan dari pihak yang dirugikan. Tentu selama 8 tahun para buruh telah memikul beban yang didatangkan oleh pemberlakuan UU ketenagakerjaan. Tapi malah pemerintah mewacanakan pemberlakuan outsourcing untuk PNS.
 
     Lahirnya UU No. 12 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menjadi dasar bagi perusahaan untuk menggunakan jasa pihak ketika untuk melakukan perekrutan tenaga kerja. Jika memang kita lihat dari kacamata hukum, kewenangan bagi perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja diberi hak untuk meminta pihak ketiga untuk melakukan perekrutan calon pegawai dalam sebuah perusahaan. Tentu kita masih bertanya dan belum mengetahui secara pasti apakah UU No 12 Tahun 2003 ini menjadi acuan bagi pemerintah untuk menerapkan Outsourcing bagi PNS? Dari sisi manakah pemerintah melihat keberhasilan sistem outsourcing jika memang itu menjadi acuannya?

Persoalan
     Tentu wacana untuk menjadikan PNS sebagai tenaga outsourcing dikwatirkan akan menimbulkan kontroversi. Sebenarnya jika memang nantinya pemerintah akan menerapkan ini, maka dilihat dari kaca mata pemerintah, bahwa pemberlakuan outsourcing bagi buruh seolah-olah dirasa berhasil dan bermanfaat bagi kaum buruh. Tentu jika fenomena ini akan terwujud, maka dapat disimpulkan pemerintah memandang dengan sebelah mata masalah tuntutan kaum buruh untuk menghapus sistem tenaga kerja kontrak (outsourcing) selama ini . Dan bahkan sampai saat ini, dapat dipastikan komitmen pemerintah untuk memperjuangkan nasib kaum buruh perlu dipertanyakan.
 
       Tidak terbayangkan lagi jika wacana ini menjadi realitas. Seandainya nantinya pemerintah akan menerapkan dan memberlakukan tenaga Outsourcing untuk PNS, maka yang pertama timbul adalah, pihak pihak tertentu akan berlomba-lomba untuk mendirikan perusahaan yang super santai, atau perusahaan yang hanya kerjaannya merekrut calon pegawai outsourcing. Didalam beberapa perusahaan baik swasta maupun BUMN jika bandingkan besarnya jumlah gaji yang diberikan tentu umumnya lebih besar ketimbang dari PNS. Wah... ini menjadi persoalan nantinya, karena orientasi pemerintah adalah mengurangi beban pengeluaran keuangan Negara. Yang paling sadis, bahwa perusahaan outsourcing memotong gaji karyawan yang direkrut bisa sampi 30%.
 
   Jika memang pemberlakuan ini diterapkan, tentu banyak persoalan yang bertumbuh. Bilang saja perbuatan kesewenang-wenangan akan lahir cepat. Contohnya pekerja PNS Outsourcing bisa saja dipecat sesuka hati oleh yang berwenang untuk memecat. Kontrak tentu tidak mutlak berlaku apa adanya, akan tetapi bisa dicabut sewaktu-waktu kapan saja, gaji tidak sepenuhnya diterima karena sudah adanya potongan dari perusahaan outsourcing, jenjang karir tidak ada. Jika ini terjadi maka yang akan korban tidak asing lagi adalah PNS outsourcing seperti yang terjadi bagi buruh. Ada juga indikasi motif untuk memutuskan kontrak sebelum diangkat menjadi karyawan tetap dengan alasan jika dipecat pada posisi karyawan tetap maka karyawan berhak mendapat pesangon.
 
    Dalam setiap kebijakan tentu punya untung dan ruginya. Yang publik sangat kesal dan seraya terdiam melihat dan mendengar wacana ini, seolah-olah pelaksanaan sistem tenaga outsorcing selama ini untuk buruh berjalan dengan baik, menguntungkan buruh itu sendiri. Seolah-olah kebijakan program kerja kontrak ini berhasil dan mampu memperbaiki kesejahteraan buruh, namun realita yang terjadi sampai saat ini buruh terus berupaya untuk menghadang untuk menolak penerapan tenaga outsourcing. Namun pemerintah belum mengkaji, DPR tidak punya rencana untuk melakukan revisi.
 
   Kegagalan outsourcing selama ini sudah sebenarnya menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi pemerintah untuk merevisi produk hukum menyangkut pemberlakuan outsourcing. Faktanya selama ini, hak-hak buruh selalu terpojokkan dan nampaknya implementasi penerapan hukum menganaktirikan keberadaan dari kaum buruh. Belum selesai persoalan buruh dalam konteks tuntutan penghapusan sistem kerja kontrak, wacana menjadikan PNS menjadi Tenaga Outsourcing mulai terdengar sehingga indikasi lahirnya persoalan baru akan segera terkuak.

Harus Dikaji
     Tidak ada tawaran lagi seandainya wacana ini terjadi harus dikaji. Kajian tentu harus terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap hasil atas capaian penerapan outsorcing selama ini. Karena pada dasarnya mendengar kata outsourcing kelihatannya berkonotasi negatif. Bahkan faktanya saat ini, kelihatannya para perusahaan outsourcing sering tidak menyebutkan lagi akan tetapi mengubahnya menjadi perusahaan alih daya padahal keduanya adalah sama. Atas dampak negatif inilah maka niat untuk mengganti nama perusahaan outsourcing termotivasi.
 
      Upaya untuk memberlakukan pensiun dini bagi PNS bisa saja menjadi salah satu jalan untuk menekan beban pengeluaran keuangan Negara. Bahkan upaya untuk memoratorium PNS bisa saja menjadi langkah positif yang sementara untuk mengatasi keuangan Negara. Tentu perlu dituntut bahwa nantinya pemerintah tidak tergantung bagi upaya penerapan tenaga outsourcing, karena bagaimanapun akhirnya tidak akan sedap kedengarannya. Sehingga sangat diharapkan wacana ini tidak akan dipaksakan karena didorong oleh kepentingan-kepentingan golongan tertentu.
 
     Pemerintah sudah saatnya tidak memandang secara subjektif, namun pandangan secara objektif sangat diperlukan. Karena walaubagaimanapun apa yang dirasakan oleh kaum buruh saat ini perlu menjadi pengalaman untuk menentukan kebijakan kedepannya. Jangan karena adanya kepentingan kelompok mengorbankan kepentingan umum. Tentu logika berpikir pertama adalah buruh tetap menolak sistem kerja outsourcing, karena menyengsarakan kaum buruh sendiri apalagi adanya rencana penerapannya untuk kalangan PNS. Semoga saja tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar