Image and video hosting by TinyPic

Masalah Banjir Jakarta



Kebanjiran adalah agenda wajib tahunan yang harus rutin dialami Ibu Kota Jakarta. Menurut catatan, musibah banjir kali ini adalah banjir terparah yang terjadi di Jakarta. Jumlah orang yang mengungsi mencapai hampir 50 ribu orang dan kerugian materi mencapai triliunan rupiah.
Banjir Jakarta yang selalu terjadi berulang setiap tahunnya dan makin parah, membuat banyak kalangan menyimpulkan bahwa banjir Jakarta bukan masalah teknis belaka yang bisa diselesaikan dengan bendungan baru, pompa baru, kanal baru, dll. Lebih dari itu, banjir Jakarta merupakan masalah sistemik.

Salah satu dari sekian banyak yang menyebabkan banjir adalah kewalahannya pemerintah kota Jakarta mengatur tata kota. Tidak sedikit masyarakat pendatang yang menjadikan bantaran sungai sebagai area tempat tinggal. Rumah yang kadang terbuat hanya terbuat dari seng dan kardus bekas dijadikan sebagai tempat bernaung setelah berjibaku dengan kehidupan keras Ibu Kota demi menghilangkan label kemiskinan yang selama ini menempel pada dirinya.

Di sisi lain, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli. Daerah resapan “ditanami” gedung dan mall demi pendapatan daerah dan memuaskan nafsu kapitalis yang menanamkan modal di sana demi meraih keuntungan tanpa menghiraukan akibat dari banyaknya bangunan yang ternyata mengambil lahan hidup air. Ditambah lagi dengan tidak adanya political will dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah rutin ini juga menjadi penyebab dari berulangnya masalah banjir. Hal ini terlihat dari sistem anggaran yang tidak adaptable untuk mengatasi bencana, serta pejabat dan petugas yang tidak kompeten dan abai mengadakan dan mengawasi infrastruktur pembangunan.

Inilah bukti ketidakmampuan pemerintah mengurusi rakyat, membiarkan masyarakat menerima akibat dari “penanaman” gedung bertingkat yang dinilai bisa memberikan income besar bagi pemerintah. Tetapi ternyata justru mempersempit ruang air untuk bermuara sehingga menimbulkan bencana yang efeknya ternyata tidak hanya menimpa orang kaya saja. Si miskin malah lebih-lebih, sudah jatuh tertimpa tangga.
Sudah miskin harus dapat bencana.

Potret ini mencerminkan pemerintahan yang jauh dari mengingat aturan Allah SWT, aktornya tersibukan mencari strategi bagaimana mengembalikan dana yang mereka keluarkan dalam pesta perebutan kekuasaan, pemilu. Sudah saatnya kita tinggalkan sistem yang membuat kesengsaraan ini dengan kembali kepada sistem hidup paripurna yang berasal dari Allah SWT, Islam.

Keamanan Website Presiden



Beberapa minggu yang lalu, tepatnya tanggal 9 Januari 2013, situs Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono diretas. Pada situs yang beralamat www.presidensby.info, si pelaku retas meninggalkan jejak dengan menuliskan diri sebagi Jember Hacker Team.

Melihat situs orang nomor satu di Indonesia dihack, para pihak kepolisian pun langsung bertindak cepat. Berdasarkan hasil pelacakan id-SIRTII, diketahui lokasi IP Address dan DNS peretas berasal dari Texas, Amerika Serikat.

Namun hasil pelacakan ini tidak dihentikan sampai disitu saja. Setelah melalui penyelidikan yang intensif dalam beberapa minggu, akhirnya diketahui jika lokasi yang digunakan untuk meretas situs presiden tersebut berasal dari sebuah warung internet di Jember.

Tak menunggu lama, identitas pelaku retas pun langsung bisa diketahui. Petugas kepolisian lalu mengamankan warnet tersebut dan menangkap salah seorang pengelola warnet tersebut.

Identitas pelaku peretasan diketahui bernama Wildan Yani Ashari. Yang menarik dari sosok peretas tersebut adalah selama ini ia dikenal jauh dari dunia teknologi. Berdasarkan informasi yang ditulis detik.com, Wildan hanya lulusan SMK Teknologi Pembangunan jurusan teknik bangunan.

Berdasarkan penulusuran detik.com, diketahui jika Wildan bukanlah termasuk siswa yang cerdas. Ia dikenal sebagai sosok siswa yang pendiam dan lugu. Dan kemampuan akademiknya di bidang komputer pun dinilai biasa-biasa saja oleh mantan gurunya di SMK. Diduga, kemampuan Wildan menjebol situs dengan sistem keamanan yang termasuk rumit tersebut didapatkan secara otodidak selama ia bekerja di warung internet.

Hingga berita ini ditulis, belum diketahui apa motif Wildan meretas situs orang nomor satu di Indonesia. Namun atas perbuatan tersebut, Wildan terancam hukuman 12 tahun penjara dan denda 12 Milyar.


Tepatkah Roy Suryo menjadi Menpora?


Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Roy Suryo Notodiprojo adalah nama lengkap dari 'pakar telematika' ini. Sebelum menjadi politikus Partai Demokrat, Roy eksis wara-wiri di berbagai pemberitaan media terutama infotainment.

Pria kelahiran 18 Juli 1968 itu adalah alumnus Universitas Gajah Mada. Pernah mengajar di Jurusan Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia dan menjadi dosen tidak tetap di Program D-3 Komunikasi UGM.

Roy selalu memberikan analisanya mengenai kajian teknis, terutama foto-foto vulgar beberapa artis yang beredar. Roy menjadi nara sumber favorit bagi berbagai media untuk membuktikan foto-foto vulgar sang artis asli atau palsu.

Di dunia maya, musuh Roy tidak sedikit, apalagi ketika dia menuduh para blogger adalah tukang tipu. Roy bahkan menuding bahwa defacing (mengubah halaman situs/website pihak lain) yang terjadi pada beberapa situs milik pemerintah dilakukan oleh para blogger dan hacker.

Beberapa situs, blog, didedikasikan untuk menghina Roy Suryo di dunia maya. Ketikkan saja nama Roy Suryo di mesin pencari, cari gambarnya, maka berbagai gambar hasil olahan yang menghina anggota DPR asal Yogyakarta itu akan muncul dan membuat kita tersenyum.

Muncul ketidakyakinan terhadap kemampuan Roy Suryo menjalankan tugas-tugas sebagai Menpora. Membangkitkan prestasi olahraga nasional, menyelesaikan konflik sepak bola sampai kasus Hambalang.

Di dunia sosial media, kebanyakan mempertanyakan dan cenderung mengkritik penunjukan anggota Komisi I DPR itu sebagai Menpora.

Mantan menteri sekretaris negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra yang mengetahui penunjukan Roy Suryo tampak terkejut. Ia mencoba membuka borok Presiden SBY yang dinilainya asal-asalan dalam menunjuk menteri. Pengalaman itu didapat Yusril dari keterlibatannya dalam dua kali seleksi penunjukan menteri pada 2004 dan 2006. Melalui akun twiter-nya, "@Yusrilihza_Mhd, ia berkicau cukup keras.

Dosen Fakultas Kedokteran UGM, Yayi Suryo Prabandari, yang juga kakak Roy Suryo mengharapkan masyarakat memberi kesempatan dulu kepada adiknya yang ditunjuk oleh Presiden SBY sebagai Menpora.

Menurut dia, selama ini meskipun tidak berprestasi di bidang olahraga, sang adik boleh dibilang merupakan pengamat olahraga.

Yayi yang juga Koordinator Quit Tobacco Indonesia meyakini adiknya yang berlatar belakang S2 di bidang ilmu kesehatan masyarakat mempunyai kemampuan analitis dan hubungan sosial yang luas.

Menghadapi keraguan masyarakat, Roy tenang-tenang saja dan tertawa saat ditanya tanggapannya. Tapi ia serius ketika ditanya apakah pernah menyangka bakal disebut-sebut calon Menpora. “Saya sendiri sebenarnya merasa kompetensi saya tidak di situ (olahraga). Tetapi bukan berarti orang yang tak punya kompetensi tidak bisa belajar di situ. Saya tetap akan berjuang sebaik-baiknya,” katanya.

Mari semua kita berdo'a Semoga saja Kanjeng Raden Mas Tumenggung Roy Suryo Notodiprojo dapat membalas semua kontroversi itu dengan karya nyata.

Apakah Perlu Mengembangkan Mobil Listrik?

 Belakangan ini muncul euforia mengenai mobil listrik di jagad publik kita. Bahkan, Menteri Negara BUMN sendiri mempromosikan mobil listrik Tucuxi dan sempat mengalami kecelakaan beberapa waktu yang lalu. Pemerintah sendiri menargetkan, produksi mobil listrik secara massal mencapai 10 ribu unit pada 2014.

Wacana dan fenomena mobil listrik ini sebenamya mengemuka tak lama setelah isu kenaikan harga BBM yang sedianya diberlakukan pada awal April 2012 yang lalu. Saat itu juga muncul gagasan untuk memasyarakatkan penggunaan bahan bakar gas (BBG). Pemunculan mobil listrik ini seakan menjadi jawaban di tengah beban subsidi dan konsumsi BBM yang semakin meningkat.

Apalagi, isu mengenai pemanasan global akibat emisi karbon yang kian massif, seakan mengamini perlunya kehadiran mobil listrik di jagad transportasi kita. Pertanyaan selanjutnya, seberapa siapkah dan bagaimana seharusnya kita menyikapi wacana mobil listrik ini?

Mobil listrik ini sebenamya bukan barang baru. Mobil bertenaga listrik sendiri mulai dikembangkan sejak pertengahan abad ke-19. Tidak jelas benar siapa sebenamya yang memulai teknologi mobil listrik itu. Beberapa sumber menyebutkan, pada 1828, seorang warga Hongaria, Anyos Jedlik, mengembangkan tipe awal motor listrik yang kemudian digunakan untuk menggerakkan motor.

Di Amerika Serikat Thomas Davenport mengembangkan motor listrik pertama yang kemudian diinstalasikan ke dalam model mobil mininya pada 1834. Namun demikian, perkembangan mobil bertenaga listrik ini tidaklah berlangsung lama sejak berkembangnya teknologi mobil yang menggunakan internal combustion, memiliki daya dorong lebih kuat, jarak tempuh yang jauh, dan relatif lebih murah dibanding mobil listrik dalam hal instalasi baterai dan penyimpanan energi yang efisien.

Memang ada sejumlah kemanfaatan kemasyarakatan (societal benefits) penggunaan mobil listrik jika dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak. Pertama, penggunaan energi listrik yang berasal dari penggerak tenaga listrik domestik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kedua, berkurangnya polusi udara. Ketiga, mengurangi tingkat kebisingan. Keempat, penggunaan infrastruktur kelistrikan secara intensif akan mengoptimalkan nilai guna yang dapat diperoleh dari infrastruktur kelistrikan tersebut. Kelima, potensi untuk mengurangi biaya integrasi listrik yang terbarukan.

Namun demikian, di sisi lain, sejumlah potensi biaya sosial yang muncul dari penggunaan mobil bertenaga listrik ketika biaya per unit (unit cost)-nya semakin murah, antara lain, pertama, meningkatnya kemacetan lalu-lintas. Penggunaan mobil listrik tentu akan semakin menambah kepadatan lalu lintas, apalagi di tengah era budaya bermobil (car culture) yang masih masif ini.

Kedua, polusi. Hal ini terjadi ketika “perebutan” pengggunaan sumber daya listrik antara mobil dan alat-alat lainnya. Tenaga listrik yang sedianya bisa digunakan untuk menggerakan peralatan lain yang dapat mengurangi polusi udara, terpakai oleh mobil listrik. Ketiga, meningkatnya kecelakaan lalu-lintas. Tidak seperti halnya mobil konvensional, mobil listrik relatif tidak bising sehingga berpotensi menimbulkan kecelakaan. Keempat, potensi meningkatnya biaya infrastruktur kelistrikan jika teknologi smart charging belum berkembang dengan baik.

Jika kita melihat populasi kendaraan bermotor dan kondisi lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, negeri ini sudah sangat massif dikungkung oleh car culture yang sangat akut. Berdasarkan data BPS (2010), ada sekitar 76, 9 juta kendaraan bermotor. Di antara jumlah tersebut mobil penumpang berjumlah sekitar 8,8 juta unit dan kendaraan bermotor roda dua mendominasi dengan jumlah sekitar 61 juta unit. Sementara, untuk bus hanya berjumlah sekitar 2, 25 juta unit.

Dengan kondisi demikian, tampaknya wacana mobil listrik belum tepat diterapkan di Indonesia. Lebih jauh, Conrad (2011) menyebutkan, jika mobil listrik ingin dipasarkan secara massal maka teknologi mobil ini harus mampu mengakomodasi juga kepada para pemilik kendaraan yang hanya menggunakan mobilnya sesekali saja, termasuk para pengguna mobil listrik yang menggunakannya secara intensif.

Sebab, selama teknologi baterai listriknya masih mahal dan baterai belum mampu menyimpan energi listrik secara awet, apalagi dalam kondisi BBM yang masih sangat murah, maka mobil listrik akan kurang ekonomis dibandingkan dengan kendaraan bermotor konvensional. Belum lagi, jika kita melihat infrastruktur kelistrikan yang belum sepenuhnya mapan.

Jika mobil listrik ini menggunakan energi listrik yang berasal dari pembangkit listrik yang masih menggunakan bahan bakar minyak maka argumentasi bahwa mobil listrik akan sepenuhnya ramah lingkungan belum kuat. Yang terjadi di sini hanyalah pengalihan dari BBM yang digunakan oleh mobil pada pembangkit tenaga listrik.

Apabila memang pemerintah hendak mengembangkan penggunaan energi listrik dalam ranah transportasi, seyogianya harus ada urutan logika yang konsisten. Mulai dari strategi dan teknologi di hulu dalam menggerakkan energi listrik yang harusnya sudah bisa ramah lingkungan dan berkelanjutan sampai pada sisi hilir, tempat seharusnya transportasi publik yang nyaman dan reliable digerakkan oleh tenaga listrik yang harusnya diutamakan untuk dikembangkan.

Contoh bagus yang bisa diambil pelajaran adalah komitmen pemerintah kota San Francisco, yakni moda transportasi yang umumnya dikenal dengan nama MUNI, yaitu bus dan trem digerakkan dengan tenaga listrik dan bahkan biodiesel. Jika pemerintah bisa mendorong pengembangan mobil bertenaga listrik untuk moda transportasi umum, LIPI dan BPPT telah mengembangkan bus bertenaga listrik yang seyogianya bisa didorong untuk bisa diproduksi massal seraya mempersiapkan juga infrastruktur pendukung kelistrikannya.

Jalan-jalan raya sudah rapat dipenuhi kendaraan yang tak terkontrol pertumbuhannya selama ini. Dengan kondisi tersebut, mengembangkan mobil listrik yang digunakan untuk kendaraan pribadi saat ini bukanlah solusi yang tepat.


sumber: http://www.scribd.com/doc/123868664/Perlukah-Kita-Mobil-Listrik